Arief Fadlansyah

Arief Fadlansyah

Private Website Simple Berbasis Pendidikan

Hot

Jumat, 25 Oktober 2024

Teori Belajar Behavioristik dari Thorndike

Oktober 25, 2024 0

Biografi Thorndike

Edward Lee Thorndike, meskipun secara teknis seorang fungsionalis, telah membentuk tahapan behaviorisme Rusia dalam versi Amerika. Thorndike (1874-1949) mendapatkan gelar sarjananya dari Wesleyan University di Connecticut pada tahun 1895 dan gelar master dari Harvard pada tahun 1897. Di Harvard, ia mengikuti kelas William James, dan mereka pun cepat menjadi akrab. Thorndike kemudian menerima beasiswa di Columbia dan meraih gelar PhD-nya pada tahun 1898. Ia tinggal dan mengajar di Columbia hingga pensiun pada tahun 1940.

Thorndike menerbitkan buku berjudul “Animal Intelligence: An Experimental Study of Association Processes in Animals.” Buku ini merupakan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah laku beberapa jenis hewan, seperti kucing, anjing, dan burung, yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianutnya, yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) adalah asosiasi; suatu stimulus akan menimbulkan respons tertentu.

Teori ini dikenal dengan sebutan teori S-R (Stimulus-Response). Dalam teori S-R, dinyatakan bahwa dalam proses belajar, organisme (hewan atau manusia) belajar dengan cara coba-salah (trial and error). Jika organisme berada dalam situasi yang mengandung masalah, ia akan mengeluarkan serentetan tingkah laku dari kumpulan tingkah laku yang dimilikinya untuk memecahkan masalah tersebut.

Berdasarkan pengalaman itu, saat menghadapi masalah yang serupa, organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus dikeluarkannya untuk memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan tingkah laku tertentu. Misalnya, seekor kucing yang dimasukkan ke dalam kandang yang terkunci akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar, dan sebagainya, hingga suatu saat secara kebetulan ia menginjak pedal di dalam kandang itu sehingga pintu kandang terbuka. Sejak saat itu, kucing akan langsung menginjak pedal jika dimasukkan ke dalam kandang yang sama.


Teori Belajar, Eksperimen, serta Hukum Belajar Thorndike

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respons. Stimulus adalah segala sesuatu yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar, seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respons adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan (Budiningsih, 2012: 21).

Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan ke dalam sangkar (puzzle box), diketahui bahwa untuk mencapai hubungan antara stimulus dan respons, diperlukan kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah trial and error learning atau selecting and connecting learning, yang berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi (Suprihatiningrum, 2016: 17-18).

Percobaan Thorndike yang terkenal melibatkan kucing yang telah lapar dan diletakkan dalam sangkar tertutup, di mana pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan ini menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and connecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat kesalahan. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak memberikan hasil. Setiap respons menimbulkan stimulus baru, dan stimulus baru ini akan menimbulkan respons lagi, dan seterusnya. Dalam percobaan tersebut, jika di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha mencapainya dengan cara meloncat-loncat. Dengan tidak sengaja, kucing telah menyentuh kenop, sehingga pintu sangkar terbuka, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulang beberapa kali, dan setelah sekitar 10 hingga 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.

Dari percobaan ini, Suprihatiningrum (2016: 18-19) menyatakan bahwa Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut:

1. Hukum Kesiapan (Law of Readiness)

Penjelasan: Hukum ini menyatakan bahwa semakin siap suatu organisme untuk belajar atau melakukan suatu tingkah laku, semakin besar kemungkinan tingkah laku tersebut akan dilakukan dan memberikan kepuasan. Dengan kata lain, kesiapan mental dan emosional individu sangat mempengaruhi proses belajar.

Contoh Kontekstual

  • Menggambar: Seorang anak yang tertarik pada menggambar merasa senang ketika diberi kesempatan untuk melukis. Ketika dia berhasil membuat gambar yang bagus, kepuasan tersebut akan memperkuat minat dan kemampuannya dalam menggambar.
  • Matematika: Jika seorang siswa merasa siap dan tertarik pada pelajaran matematika, dia akan lebih rajin belajar dan mengerjakan soal-soal. Ketika dia mendapatkan nilai baik, perasaan puas akan mendorongnya untuk terus belajar lebih giat di masa mendatang

2. Hukum Latihan (Law of Exercise)

Penjelasan: Hukum ini menyatakan bahwa semakin sering tingkah laku diulang, semakin kuat asosiasi antara stimulus dan respon. Sebaliknya, jika pengulangan tidak dilakukan, asosiasi tersebut akan melemah.

Contoh Kontekstual:

  • Olahraga: Seorang atlet yang rutin berlatih akan semakin mahir dalam olahraga yang ditekuninya. Misalnya, seorang pelari yang sering berlatih lari akan semakin cepat dan terampil seiring dengan waktu.
  • Bahasa Asing: Siswa yang sering berlatih berbicara dalam bahasa asing akan lebih fasih. Jika mereka tidak berlatih, kemampuan bahasa tersebut bisa berkurang seiring waktu.

3. Hukum Akibat (Law of Effect)

Penjelasan: Hukum ini menjelaskan bahwa hubungan stimulus dan respon akan diperkuat jika diikuti oleh akibat yang menyenangkan, dan sebaliknya, akan melemah jika diikuti oleh akibat yang tidak menyenangkan.

Contoh Kontekstual:

  • Penghargaan di Kelas: Seorang siswa yang mendapat pujian dari guru setelah menjawab dengan benar akan cenderung lebih aktif berpartisipasi di kelas di masa mendatang. Pujian ini menjadi akibat yang menyenangkan yang memperkuat perilakunya.
  • Hukuman: Jika seorang anak dihukum karena berperilaku buruk di kelas, dia mungkin akan menghindari perilaku tersebut di masa depan karena pengalaman tidak menyenangkan dari hukuman.

Ketiga hukum ini saling berkaitan dan memberikan kerangka dasar untuk memahami bagaimana proses belajar berlangsung. Hukum kesiapan menekankan pentingnya motivasi dan minat, hukum latihan menyoroti pentingnya pengulangan, dan hukum akibat menjelaskan dampak dari hasil perilaku. Dengan memahami hukum-hukum ini, kita dapat merancang metode pembelajaran yang lebih efektif.


Selain itu, Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:

1. Hukum Reaksi Bervariasi (Multiple Responses)

Penjelasan: Individu cenderung mencoba berbagai respons sebelum menemukan solusi yang tepat untuk masalah yang dihadapi. Proses ini sering melibatkan trial and error.

Contoh Kontekstual:

  • Permainan Puzzle: Seorang anak yang sedang mencoba menyusun puzzle akan mencoba beberapa potongan yang berbeda sebelum menemukan potongan yang tepat. Mungkin dia mencoba memasukkan potongan yang salah beberapa kali sebelum akhirnya menemukan tempat yang benar.

2. Hukum Sikap (Attitude)

Penjelasan: Perilaku belajar seseorang dipengaruhi oleh faktor internal seperti kognisi, emosi, sosial, dan psikomotor. Sikap dan keadaan mental individu dapat mempengaruhi cara mereka belajar dan berinteraksi dengan stimulus.

Contoh Kontekstual:

  • Kelas Musik: Seorang siswa yang memiliki minat tinggi dan positif terhadap musik akan lebih aktif belajar bermain alat musik dibandingkan siswa yang merasa terpaksa. Sikap positif ini akan memengaruhi motivasi dan keterlibatan mereka dalam pembelajaran.

3. Hukum Aktivitas Berat Sebelah (Pre-potency of Element)

Penjelasan: Individu cenderung memberikan respons hanya pada stimulus tertentu sesuai dengan persepsi mereka terhadap situasi keseluruhan. Ini berarti tidak semua stimulus mendapatkan perhatian yang sama.

Contoh Kontekstual:

  • Pengalaman Belajar: Seorang siswa yang fokus pada satu aspek dari suatu pelajaran (misalnya, rumus matematika tertentu) mungkin akan lebih responsif terhadap latihan yang berkaitan dengan rumus tersebut dan mengabaikan bagian lain dari pelajaran.

4. Hukum Respons dengan Analogi (Response by Analogy)

Penjelasan: Individu dapat merespons situasi baru dengan mengaitkannya dengan pengalaman lama. Semakin banyak kesamaan antara situasi baru dan lama, semakin mudah proses transfer pengetahuan tersebut.

Contoh Kontekstual:

  • Belajar Memasak: Jika seseorang telah belajar cara membuat sup, mereka mungkin menggunakan metode yang sama ketika mencoba membuat saus. Mereka menghubungkan pengalaman mereka dengan cara memasak sup ke situasi baru, yaitu membuat saus, sehingga memudahkan proses belajar.

5. Hukum Perpindahan Asosiasi (Associative Shifting)

Penjelasan: Proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal terjadi secara bertahap dengan menambahkan elemen-elemen baru. Ini melibatkan pengenalan elemen baru ke dalam konteks yang sudah dikenal.

Contoh Kontekstual:

  • Belajar Bahasa Asing: Ketika siswa belajar kosakata baru dalam bahasa asing, mereka mungkin mulai dengan kata-kata yang mirip dalam bahasa mereka sendiri (yang sudah dikenal). Seiring waktu, mereka menambahkan kata-kata baru yang berbeda, membangun pengertian mereka secara bertahap dengan mengaitkan dengan kata-kata yang sudah diketahui.

Hukum-hukum ini menggambarkan berbagai aspek dalam proses belajar, menunjukkan bahwa belajar bukan hanya tentang pengulangan dan penguatan, tetapi juga melibatkan interaksi kompleks antara individu dengan lingkungan dan pengalaman sebelumnya. Memahami hukum-hukum ini dapat membantu dalam merancang strategi pembelajaran yang lebih efektif.


Thorndike juga mengemukakan revisi hukum belajar sebagai berikut:

1. Hukum Latihan

Penjelasan: Hukum latihan awalnya menekankan pentingnya pengulangan dalam memperkuat hubungan antara stimulus dan respons. Namun, penelitian menunjukkan bahwa pengulangan saja tidak selalu cukup. Kadang-kadang, hubungan tersebut bisa bertahan meskipun tidak ada pengulangan, tergantung pada faktor lain seperti motivasi atau konteks.

Contoh Kontekstual:

  • Seorang pelajar yang belajar bahasa asing mungkin tidak berlatih berbicara setiap hari, tetapi jika dia sering mendengar percakapan dalam bahasa tersebut melalui film atau musik, pemahamannya tetap terjaga. Dia dapat merespons dengan baik ketika dia akhirnya berbicara dengan penutur asli, meskipun tidak sering berlatih.

2. Hukum Akibat

Penjelasan: Dalam revisi ini, Thorndike menyatakan bahwa efek positif (hadiah) memiliki dampak yang signifikan dalam mengubah perilaku. Di sisi lain, hukuman tidak selalu membawa perubahan perilaku yang diharapkan, sering kali tidak memberikan efek yang berarti.

Contoh Kontekstual:

  • Dalam lingkungan kelas, jika seorang guru memberikan penghargaan kepada siswa yang berprestasi, siswa tersebut cenderung termotivasi untuk terus belajar. Sebaliknya, jika guru hanya menggunakan hukuman untuk siswa yang berperilaku buruk, itu mungkin tidak mencegah perilaku negatif di masa depan, karena siswa tersebut mungkin tidak merasakan dampak yang cukup untuk mengubah perilakunya.

3. Syarat Terjadinya Hubungan Stimulus-Respons

Penjelasan: Hubungan antara stimulus dan respons tidak hanya bergantung pada kedekatan fisik, tetapi juga pada relevansi atau kesesuaian antara keduanya. Ini berarti bahwa stimulus yang tepat akan menghasilkan respons yang tepat jika keduanya saling berkaitan dengan baik.

Contoh Kontekstual:

  • Seorang siswa yang mendengar suara bel sekolah (stimulus) mungkin tidak langsung merespons kecuali dia mengaitkan suara tersebut dengan waktu untuk masuk kelas. Jika dia telah diajarkan bahwa bel menandakan waktu belajar, maka responsnya akan kuat. Jika tidak ada pemahaman tersebut, dia mungkin tidak merespons sama sekali.

4. Penularan Akibat Perbuatan

Penjelasan: Akibat dari suatu tindakan bisa berdampak luas, tidak hanya pada individu yang melakukan tindakan tersebut tetapi juga dapat menular ke individu lain atau bidang lain. Ini menunjukkan bahwa hasil dari satu tindakan dapat mempengaruhi orang lain di sekitar kita.

Contoh Kontekstual:

  • Dalam sebuah organisasi, jika seorang karyawan mendapatkan pengakuan atas kerja kerasnya, rekan-rekannya mungkin termotivasi untuk meningkatkan kinerja mereka juga. Pengakuan tersebut menciptakan suasana kompetitif yang positif, yang dapat mendorong orang lain untuk berusaha lebih keras dan mencapai hasil yang lebih baik.

Keempat poin ini menyoroti dinamika yang lebih kompleks dalam proses belajar dan perilaku. Mereka menunjukkan bahwa belajar tidak hanya bergantung pada pengulangan dan hukuman, tetapi juga pada faktor relevansi, konteks, dan dampak sosial. Memahami konsep-konsep ini dapat membantu dalam menciptakan lingkungan belajar yang lebih efektif dan memotivasi.


Penerapan Teori Belajar Thorndike

Setelah dijelaskan mengenai teori belajar Thorndike, berikut ini adalah penerapan dari teori tersebut:

1. Perencanaan Pengajaran

Penjelasan: Guru perlu merencanakan dengan jelas apa yang akan diajarkan, termasuk materi, respons yang diharapkan, dan kapan memberikan penghargaan atau umpan balik.

Contoh Kontekstual:

  • Sebelum memulai unit tentang pecahan dalam matematika, guru menyiapkan tujuan pembelajaran yang jelas, seperti "Siswa dapat memahami dan menyelesaikan soal pecahan sederhana." Dia juga merencanakan aktivitas yang akan dilakukan serta momen ketika ia akan memberikan pujian ketika siswa berhasil menjawab dengan benar.

2. Kesesuaian Tujuan

Penjelasan: Tujuan pendidikan harus sesuai dengan kemampuan peserta didik dan dibagi menjadi unit-unit yang memungkinkan guru untuk menerapkan metode yang sesuai.

Contoh Kontekstual:

  • Dalam pelajaran sains, guru membagi materi tentang ekosistem menjadi beberapa unit: pengenalan ekosistem, komponen ekosistem, dan interaksi antar komponen. Ini memungkinkan siswa untuk memahami setiap bagian sebelum beralih ke konsep yang lebih kompleks.

3. Pendekatan Bertahap

Penjelasan: Proses belajar harus dimulai dari konsep yang sederhana dan secara bertahap meningkat ke yang lebih kompleks.

Contoh Kontekstual:

  • Dalam pembelajaran bahasa, guru memulai dengan pengenalan kosakata dasar sebelum berlanjut ke kalimat sederhana, kemudian ke percakapan, dan akhirnya ke penulisan esai. Ini membantu siswa membangun fondasi yang kuat sebelum menghadapi tantangan yang lebih besar.

4. Fokus pada Respons

Penjelasan: Penting untuk memfokuskan perhatian pada respons yang benar terhadap stimulus, lebih dari sekadar motivasi.

Contoh Kontekstual

  • Dalam kelas seni, ketika siswa diberikan umpan balik positif tentang karya mereka, mereka cenderung mengulangi proses kreatif yang sama. Respon positif dari guru meningkatkan kepercayaan diri siswa dan menumbuhkan minat mereka terhadap seni.

5. Pemberian Hadiah

Penjelasan: Penghargaan harus diberikan kepada siswa yang belajar dengan baik, dan umpan balik harus diberikan segera jika hasil yang diharapkan belum tercapai.

Contoh Kontekstual:

  • Setelah ujian, siswa yang mendapat nilai tinggi menerima sertifikat penghargaan. Sementara itu, siswa yang belum berhasil mendapatkan saran konkret dari guru tentang cara memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka dapat belajar dan berkembang.

6. Situasi Belajar yang Menyenangkan

Penjelasan: Situasi belajar harus relevan dan menyenangkan agar siswa lebih terlibat.

Contoh Kontekstual:

  • Dalam pembelajaran sejarah, guru mengadakan simulasi peristiwa sejarah, seperti pertempuran atau pertemuan penting. Ini tidak hanya membuat pembelajaran lebih menarik tetapi juga membantu siswa memahami konteks dengan lebih baik.

7. Kegunaan Materi Pelajaran

Penjelasan: Materi yang diajarkan harus bermanfaat bagi kehidupan siswa setelah mereka keluar dari sekolah.

Contoh Kontekstual:

  • Dalam pelajaran matematika, guru mengajarkan konsep perhitungan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan pribadi, seperti membuat anggaran. Ini memberikan siswa keterampilan yang dapat mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari

8. Tantangan yang Sesuai

Penjelasan: Pelajaran yang terlalu sulit dapat menyebabkan frustrasi dan tidak meningkatkan kemampuan penalaran siswa.

Contoh Kontekstual:

  • Dalam kelas membaca, guru menilai tingkat kemampuan membaca siswa dan memilih buku yang sesuai. Jika buku terlalu sulit, siswa mungkin kehilangan minat. Dengan memberikan buku yang sesuai dengan kemampuan mereka, guru dapat membantu siswa merasa sukses dan terus berkembang.

Penerapan teori belajar Thorndike dalam pengajaran menunjukkan pentingnya perencanaan yang baik, pemahaman terhadap siswa, serta menciptakan lingkungan belajar yang mendukung. Ini membantu siswa mencapai hasil belajar yang optimal dan relevan dengan kehidupan mereka.


Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Thorndike

Ada beberapa kelebihan dari teori belajar Thorndike, di antaranya:

1. Pengulangan dan Pengalaman:

Penjelasan: Pengulangan dalam proses belajar membantu siswa memperoleh pengalaman yang mendalam. Hadiah atau penghargaan dapat meningkatkan motivasi siswa untuk terus mencoba.

Contoh:

  • Seorang siswa yang sering berlatih soal matematika akan semakin terampil. Ketika dia mendapat nilai tinggi, rasa puas itu akan mendorongnya untuk terus berlatih.

2. Trial dan Error:

Penjelasan: Teori ini mendorong individu untuk menguji berbagai kemungkinan sebelum menemukan solusi yang tepat, sehingga meningkatkan keterampilan berpikir.

Contoh:

  • Dalam pelajaran sains, siswa yang bereksperimen dengan berbagai cara untuk mencampur bahan kimia sebelum menemukan reaksi yang tepat belajar melalui trial and error, yang meningkatkan pemahaman mereka tentang konsep kimia

3. Berpikir Linier dan Konvergen:

Penjelasan: Proses belajar dianggap sebagai langkah-langkah yang jelas menuju tujuan tertentu, yang membantu siswa fokus pada pencapaian hasil yang diinginkan.

Contoh:

  • Dalam pelajaran bahasa, siswa yang mengikuti langkah-langkah pembelajaran yang terstruktur, seperti belajar kosakata sebelum beralih ke kalimat, cenderung mencapai kemajuan yang lebih baik.


Namun, teori ini juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain:

1. Ketidakmampuan Menjelaskan Kompleksitas:

Penjelasan: Teori ini terlalu sederhana untuk menjelaskan situasi belajar yang melibatkan banyak variabel, seperti emosi, konteks sosial, atau pengalaman individu.

Contoh:

  • Dalam pendidikan seni, motivasi dan emosi siswa dapat sangat memengaruhi hasil belajar mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan hanya dengan stimulus-respons.

2. Kurangnya Penjelasan untuk Penyimpangan:

Penjelasan: Teori ini tidak mampu menjelaskan mengapa terkadang respons yang diharapkan tidak terjadi meskipun stimulus yang tepat diberikan.

Contoh:

  • Seorang siswa mungkin telah belajar rumus matematika dengan baik (stimulus), tetapi saat ujian, dia tidak dapat menerapkannya. Ini mungkin disebabkan oleh faktor kecemasan yang tidak diakui dalam teori.

3. Pandangan Mekanistis:

Penjelasan: Teori ini melihat manusia sebagai mekanisme, mirip dengan hewan, yang tidak sepenuhnya menangkap kompleksitas perilaku manusia.

Contoh:

  • Meskipun anjing dapat dilatih menggunakan teknik penguatan positif, manusia memiliki motivasi dan pertimbangan emosional yang lebih kompleks, seperti nilai dan tujuan hidup.

4. Asosiasi Saja:

Penjelasan: Teori ini cenderung fokus pada penguatan asosiasi antara stimulus dan respons tanpa mempertimbangkan faktor lain yang mungkin berpengaruh.

Contoh:

  • Dalam pembelajaran bahasa, kemampuan komunikasi yang baik tidak hanya tergantung pada asosiasi antara kata dan makna, tetapi juga pada konteks dan situasi sosial.

5. Absen dari Pengertian:

Penjelasan: Teori ini kurang memperhatikan pentingnya pemahaman dalam proses belajar, mengabaikan kebutuhan siswa untuk memahami konsep secara mendalam.

Contoh:

  • Seorang siswa mungkin dapat menghafal rumus fisika, tetapi jika tidak memahami penerapannya dalam situasi nyata, pengetahuan tersebut tidak akan berguna dalam kehidupan sehari-hari.

Teori belajar Thorndike memberikan kontribusi yang signifikan dalam memahami proses belajar, terutama dalam hal pengulangan dan pengalaman. Namun, kekurangan-kekurangan tersebut menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih holistik dalam pendidikan, yang mempertimbangkan kompleksitas manusia dan berbagai faktor yang mempengaruhi proses belajar.


Kesimpulan

  1. Definisi Belajar: Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respons.
  2. Percobaan Kucing: Percobaan terkenal Thorndike melibatkan seekor kucing yang lapar yang dimasukkan ke dalam sangkar tertutup. Pintu sangkar dapat terbuka otomatis saat kenop di dalamnya tersentuh. Dari percobaan ini, ia mengembangkan teori “trial and error” atau “selecting and connecting”, yang menunjukkan bahwa belajar terjadi melalui percobaan dan kesalahan. Kucing cenderung meninggalkan tindakan yang tidak berhasil, dan setiap respons yang dihasilkan menimbulkan stimulus baru, yang kemudian memicu respons lagi.
  3. Hukum-Hukum Belajar: Thorndike menemukan beberapa hukum belajar, antara lain: (1) Hukum Kesiapan (Law of Readiness), (2) Hukum Latihan (Law of Exercise), dan (3) Hukum Akibat (Law of Effect). Selain hukum-hukum pokok ini, Thorndike juga mengemukakan hukum tambahan dan beberapa revisi terhadap hukum sebelumnya.
  4. Penerapan Teori: Penerapan teori belajar Thorndike meliputi: (1) Guru harus mengetahui apa yang akan diajarkan, materi yang diberikan, respons yang diharapkan, dan kapan memberikan hadiah atau memperbaiki respons; (2) Tujuan pendidikan harus sesuai dengan kemampuan belajar peserta didik; (3) Proses belajar harus bertahap, dimulai dari yang sederhana hingga yang kompleks, dan sebagainya.
  5. Kelebihan dan Kekurangan: Teori belajar Thorndike (Koneksionisme) memiliki kelebihan, seperti mendorong pengalaman berharga dan penguasaan hubungan stimulus-respons, tetapi juga memiliki kekurangan, seperti ketidakmampuan menjelaskan situasi belajar yang kompleks dan pandangan mekanistis terhadap manusia.


Daftar Pustaka

  1. Budiningsih, Asri C. (2012). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
  2. Nurhidayati, Titin. (2012). "Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning) dalam Pendidikan". Jurnal Falasifa, Vol. 3, No. 1.
  3. Suryabrata, Sumadi. (2006). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
  4. Syah, Muhibbin. (2006). Psikologi Belajar: Edisi 5. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
  5. Suprihatiningrum, Jamil. (2016). Strategi Pembelajaran: Teori & Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
  6. Edward Lee Thorndike. (n.d.). Retrieved from (https://www.academia.edu/10331155/Implementasi_Teori_Belajar_Edward_LeeThrondike)
  7. Anwar, M. (2014). "Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar". Retrieved from Blog Anwar Math (http://anwar-math.blogspot.com/2014/10/kelebihan-dan-kekurangan-teori belajar.html)

Read More

Selasa, 15 Oktober 2024

Prinsip Understanding By Design dalam Pembelajaran

Oktober 15, 2024 0


 Pendekatan Backward Design (UbD): Memulai Pembelajaran dari Tujuan

Understanding by Design atau Backward Design adalah sebuah pendekatan pembelajaran yang inovatif yang diperkenalkan oleh para ahli pendidikan, Grant Wiggins dan Jay McTighe pada tahun 2005. Pendekatan ini mengajak kita untuk merencanakan pembelajaran dengan cara yang berbeda, yaitu dimulai dari tujuan akhir yang ingin dicapai.

Prinsip-Prinsip Utama Backward Design

  1. Perencanaan yang Disusun Guru: Guru memiliki peran sentral dalam merancang pembelajaran. Mereka harus secara cermat merencanakan setiap tahap pembelajaran, mulai dari penentuan tujuan hingga pemilihan aktivitas.
  2. Fokus pada Konsep Utama: UbD menekankan pentingnya pemahaman mendalam terhadap konsep-konsep inti suatu mata pelajaran. Peserta didik diajak untuk menghubungkan berbagai informasi dan membangun pengetahuan yang bermakna.
  3. Pembelajaran Mandiri: Peserta didik didorong untuk aktif dalam proses pembelajaran. Mereka diajak untuk mencari bukti-bukti nyata, menganalisis informasi, dan menarik kesimpulan sendiri.
  4. Mulai dari Tujuan: Hal yang membedakan UbD dengan pendekatan pembelajaran lainnya adalah dimulai dari penentuan tujuan pembelajaran yang jelas dan spesifik. Tujuan ini menjadi acuan dalam merancang seluruh kegiatan pembelajaran.
  5. Peran Guru sebagai Fasilitator: Guru berperan sebagai fasilitator yang membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran. Mereka menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan memberikan dukungan yang diperlukan.
  6. Refleksi Berkala: Proses pembelajaran adalah proses yang dinamis. Oleh karena itu, guru perlu secara rutin melakukan refleksi untuk melihat sejauh mana tujuan pembelajaran tercapai dan melakukan perbaikan jika diperlukan.
  7. Peningkatan Berkelanjutan: UbD adalah pendekatan yang terus berkembang. Guru diharapkan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran agar peserta didik dapat mencapai potensi terbaiknya.

Langkah-Langkah dalam Penerapan Backward Design

Gambar di atas menunjukkan tiga langkah utama dalam menerapkan Backward Design:

  1. Menentukan Tujuan: Langkah pertama adalah menentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Tujuan ini harus jelas, spesifik, dan dapat diukur.
  2. Menentukan Asesmen: Setelah tujuan ditetapkan, langkah selanjutnya adalah merancang asesmen yang sesuai untuk mengukur pencapaian tujuan tersebut. Asesmen dapat berupa tes tertulis, proyek, presentasi, atau bentuk lainnya.
  3. Merancang Kegiatan: Langkah terakhir adalah merancang kegiatan pembelajaran yang dapat membantu peserta didik mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan pembelajaran harus dirancang secara kreatif dan menarik agar peserta didik tetap termotivasi.

Mengapa Backward Design Penting?

  • Pembelajaran yang Lebih Bermakna: Dengan memulai dari tujuan, peserta didik akan lebih memahami mengapa mereka belajar sesuatu dan apa manfaatnya bagi mereka.
  • Peningkatan Kualitas Pembelajaran: Dengan perencanaan yang matang, guru dapat menciptakan pembelajaran yang lebih efektif dan efisien.
  • Fokus pada Hasil: UbD memastikan bahwa pembelajaran berorientasi pada hasil yang ingin dicapai, bukan hanya pada proses pembelajaran.

Kesimpulan

Backward Design adalah sebuah pendekatan yang sangat relevan dalam konteks pendidikan modern. Dengan menerapkan prinsip-prinsip Backward Design, guru dapat menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna, aktif, dan berpusat pada peserta didik.

Read More

Kamis, 23 Agustus 2018

9 Komponen dalam Silabus untuk bekal "AKREDITASI SEKOLAH"

Agustus 23, 2018 0
Bismillahirrahmanirrahim
Assallamu'alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, kini saya mulai menulis lagi.. Sambil menulis, saya mau berbagi sedikit pengalaman saya tentang Akreditasi Sekolah SMP.



Pada waktu yang lalu, sekolah kami SMP Muhammadiyah Boarding School Tarakan kedatangan tamu dari TIM ASESOR Dinas Pendidikan Kota Tarakan. Mungkin pada kesempatan kali ini, saya cuma berbagi tentang "SILABUS".

Di dalam Standar Proses, terdapat point "Silabus" yang harus kita buktikan dengan adanya dokumen pendukung. Pada point tersebut, ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan kepada teman-teman pendidik.

Diantaranya ada 9 komponen di dalam "Silabus" yang harus kita lengkapi.

Berikut 9 komponen yang harus ada dalam "Silabus"
  • Identitas mata pelajaran
  • Identitas sekolah/madrasah
  • Kompetensi Inti
  • Kompetensi Dasar
  • Materi Pokok
  • Kegiatan Pembelajaran
  • Penilaian
  • Alokasi Waktu
  • Sumber Belajar
Dengan kita melengkapi 9 komponen tersebut, insyaallah point "Standar Proses" untuk "Silabus" tidak akan jadi masalah untuk kita serahkan kepada TIM ASESOR.

Sekian beberapa hal yang mau saya bagikan untuk teman-teman pendidik. Semoga artikel ini, dapat membantu teman-teman pendidik khususnya bagi yang menjadi TIM AKREDITASI di Sekolah masing-masing.
Bila ada kesalahan tulisan maupun kata yang menyinggung, mohon di maafkan. Syukran Katsiran.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Sumber:
Perangkat Akreditasi SMP 2017
Read More

Sabtu, 22 Juli 2017

Faktorisasi Suku Aljabar, Pengertian Suku Satu, Dua dan Tiga.

Juli 22, 2017 0
Assalamualaikum, telah masuk tahun ajaran baru 2017-2018. Dari 23 September 2016 hingga saat ini saya merupakan guru pengajar di Pondok Pesantren Daarul Ilmi Muhammadiyah Boarding School Tarakan. Awalnya saya merupakan Staf Tata Usaha, sekaligus dapat kesempatan mengajar di kelas 2 pada tahun ajaran 2016-2017.


Dan kini, alhamdulillah saya diberi kepercayaan untuk mengajar di kelas 1 dan 2. Mulai saat ini, saya akan mulai aktif lagi mengisi blog ini. Yaaa kali ini, saya hanya akan mengisinya dengan Bahan Ajar yang saya ajarkan di kelas.

Berikut saya tampilkan Pembelajaran Pertama di kelas 2 dengan BAB. Faktorisasi Suku Aljabar. Karena pertemuan pertama, pembahasannya masih tergolong ringan. Yaitu, Pengertian Suku Satu, Suku Dua dan Suku Tiga saja.


Semoga postingan ini bisa menjadi bahan referensi untuk pengunjung. Aamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.
Read More

Minggu, 12 Maret 2017

Rapat Kerja Kwartir Daerah Gerakan Kepanduan Hisbul Wathan Kota Tarakan 2016-2021

Maret 12, 2017 0
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah. Kegiatan hari ini Rapat Kerja Kwarda HW Kota Tarakan berjalan dengan lancar, meskipun pagi tadi hujan sehingga pembukaan Rapat Kerja menjadi tertunda.

Terima kasih kepada seluruh panitia Gerakan Kepanduan Hisbul Wathan Kota Tarakan yang telah bekerja keras dalam mensukseskan acara ini. Tetap istiqomah dalam semboyan kita “Sedikit Bicara Banyak Bekerja”. Salam Hisbul Wathan, Fastabiqul Khairat.


Pembukaan Rapat Kerja Kwartir Daerah Kepanduan Hisbul Wathan Kota Tarakan tahun 2016-2021 sekaligus Pembukaan Rapat Kerja Pimpinan Muhammadiyah Kota Tarakan.


Santri Pondok Pesantren Daarul Ilmi SMP Muhammadiyah Boarding School Tarakan sebagai Paduan Suara.



Saya sendiri menjadi Anggota Sidang pada acara tersebut. 
























































Syukran, Barakallah. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Read More

Sabtu, 11 Maret 2017

My Curriculum Vitae

Maret 11, 2017 0
Curriculum Vitae

Data Pribadi :
Nama                  : Arief Fadlansyah
Tempat, tanggal lahir  : Tarakan, 30 Oktober 1992
Jenis kelamin          : Laki- laki
Umur                  : 27 Tahun
Tinggi,Berat badan    : 150 Cm, 47 Kg
Agama                 : Islam
Alamat                 : Griya Persemaian, Blok. IV, RT. 14, No. 02 Karang Harapan
Status                  : Menikah
Telepon               : 082157262516
Email                  : arief.fadlansyah@gmail.com

Latar Belakang Pendidikan ;
Ø Formal
(1998) : Lulus TK Handayani Tarakan
(2004) : Lulus SD Negeri 009 Tarakan
(2007) : Lulus SMP Negeri 1 Tarakan
(2010) : Lulus SMK Negeri 1 Tarakan Jurusan Akuntansi
(2016) : Lulus Universitas Borneo Tarakan  Jurusan Pendidikan Matematika

Pengalaman Kerja ;
1)        Berkerja mengajar private mulai tahun 2008
2)        Bekerja di SMP Muhammadiyah Boarding School Tarakan
Pada tanggal 23 September 2016
Status : Tenaga Kontrak
Posisi : Staf Tata Usaha (Mulai September 2016-2018), Staf Kurikulum (Mulai Juli 2018-Sekarang), Operator Sekolah (Mulai Juli 2018-Sekarang), Mengajar (Mulai Februari 2017-Sekarang), Pembina Hisbul Wathan (Mulai Februari 2017-Sekarang)
Rincian pekerjaan : Mengatur Manajemen Sekolah (Tata Usaha), Management Kurikulum, Operator Dapodik, Mengajar Matematika kelas 2 (2016-2018), Mengajar Matematika kelas 3 (2018), Membina Kepanduan Pandu Hisbul Wathan.
3)        Menjadi pengurus Kwartir Daerah Hisbul Wathan Tarakan 2016-2021 sebagai Wakil Ketua yang membidangi Seni Budaya dan Olahraga.

Tertanggal 24 Agustus 2018 Pukul 11.00 PM
Read More

Rabu, 28 September 2016

Materi Integral (Format Video)

September 28, 2016 0
Materi Integral (Format Video) - Assallamualaikum yaa sahabatt. Sedikit share mengenai materi-materi integral, dalam postingan ini saya akan memberikan link sebuah video pembelajaran mengenai materi integral, dengan video kalian akan lebih mudah memahami materi tersebut daripada membaca sebuah teks pembelajaran, tutornya mudah dipahami kok, tenang saja.. Haha..


Integral adalah sebuah konsep penjumlahan secara berkesinambungan dalam matematika, dan bersama dengan inversnya, diferensiasi, adalah satu dari dua operasi utama dalam kalkulus. Integral dikembangkan menyusul dikembangkannya masalah dalam diferensiasi di mana matematikawan harus berpikir bagaimana menyelesaikan masalah yang berkebalikan dengan solusi diferensiasi. 

Berikut Video Materi Pembelajaran Integral:
Semoga postingan yang tidak seberapa ini bermanfaat bagi pengunjung. Terima Kasih kunjungannya sahabatt.. Hehe..

Sumber: Wikipedia | Sibejo.com
Read More

Rabu, 22 Juni 2016

Hubungan Filsafat dengan Ilmu

Juni 22, 2016 0
Reduxation Website - Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di kemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).


Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.

Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.

Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.

Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.

Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel Kant (dalam Kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).

Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.

Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah. Lebih jauh, Jujun S. Suriasumantri (1982:22), –dengan meminjam pemikiran Will Durant– menjelaskan hubungan antara ilmu dengan filsafat dengan mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang berhasil merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.

Untuk melihat hubungan antara filsafat dan ilmu, ada baiknya kita lihat pada perbandingan antara ilmu dengan filsafat dalam bagan di bawah ini, (disarikan dari Drs. Agraha Suhandi, 1992)

Ilmu
Filsafat
Segi-segi yang dipelajari dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti
Mencoba merumuskan pertanyaan atas jawaban. Mencari prinsip-prinsip umum, tidak membatasi segi pandangannya bahkan cenderung memandang segala sesuatu secara umum dan keseluruhan
Obyek penelitian yang terbatas
Keseluruhan yang ada
Tidak menilai obyek dari suatu sistem nilai tertentu.
Menilai obyek renungan dengan suatu makna, misalkan: religi, kesusilaan, keadilan dsb.
Bertugas memberikan jawaban
Bertugas mengintegrasikan ilmu-ilmu

Daftar Pustaka
  • Achmad Sanusi,.(1998 ), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung :PPS-IKIP Bandung.
  • Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.
  • Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.
  • Filsafat_Ilmu,  members.tripod.com/aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm.
  • Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.
  • Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan.
  • Mantiq,  media.isnet.org./islam/etc/mantiq.htm.
  • Moh. Nazir, (1983), Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia
  • Muhammad Imaduddin Abdulrahim, (1988 ), Kuliah Tawhid, Bandung : Yayasan Pembina Sari Insani
Sumber
Read More