Model Pengembangan Kurikulum - Arief Fadlansyah

Private Website Simple Berbasis Pendidikan

Hot

Minggu, 07 Februari 2016

Model Pengembangan Kurikulum

Model adalah konstruksi yang bersifat teroretis dari konsep. Menurut Roberts S. Zain dalam bukunya: Curriculum Principles and Foundation (Dakir, 2004: 95-99), berbagai model dalam pengembangan kurikulum secara garis besar diutarakan sebagai berikut :

Model Administratif (Garis Staff atau Top Down)
Pengembangannya dilaksanakan sebagai berikut.
  1. Atasan membentuk tim yang terdiri atas para pejabat teras yang berwenang(pengawas pendidikan, Kepsek, dan pengajar inti)
  2. Tim merencanakan konsep rumusan tujuan umum dan rumusan falsafah yang diikuti.
  3. Dibentuk beberapa kelompok kerja yang anggotanya terdiri atas para spesialis kurikulum dan staf pengajar.
  4. Hasil kerja direvisi oleh tim atas dasar pengalaman atau hasil try out.
  5. Setelah try out yang dilakukan oleh beberapa Kepsek, dan telah direvisi sebelumnya, baru kurikulum tersebut diimplementasikan.
Model dari Bawah (Grass-Roats)
Langkah-langkahnya sebagai berikut.
  1. Inisiatif pengembangan datang dari bawah (Para pengajar)
  2. Tim pengajar dari beberapa sekolah ditambah narasumber lain dari orang tua siswa atau masyarakat luas yang relevan.
  3. Pihak atasan memberikan bimbingan dan dorongan
  4. Untuk pemantapan konsep pengembangan yang telah dirintis diadakan loka karya agar diperoleh input yang diperlukan.
Model Demonstrasi
Langkah-langkahnya sebagai berikut.
  1. Staf pengajar pada suatu sekolah menemukan suatu ide pengembangan dan ternyata hasilnya dinilai baik.
  2. Kemudian hasilnya disebarluaskan di sekolah sekitar.
Model Beauchamp
Model ini dikembangkan oleh G.A. Beauchamp (1964) dengan langkah-langkah sebagai berikut.
  1. Suatu gagasan pengembangan kurikulum yang telah dilaksanakan di kelas, diperluas di sekolah, disebarkan di sekolah-sekolah di daerah tertentu baik berskala regional maupun nasional yang disebut arena.
  2. Menunjuk tim pengembang yang terdiri atas ahli kurikulum, para ekspert, staf pengajar, petugas bimbingan, dan nara sumber lain.
  3. Tim menyusun tujuan pengajaran, materi, dan pelaksanaan proses belajar mengajar.
  4. Untuk tugas tersebut dibentuk dewan kurikulum sebagai koordinator yang bertugas juga sebagai penilai pelaksanaan kurikulum, memilih materi pelajaran baru, menentukan berbagai kriteria untuk memilih kurikulum mana yang akan dipakai, dan menulis keseluruhan kurikulum yang akan dikembangkan.
  5. Melaksanakan kurikulum di sekolah
  6. Mengevaluasi kurikulum yang berlaku.
Model Terbalik Hilda Taba
Model ini dikembangkan oleh Hilda Taba atas dasar data induktif yang disebut model terbalik karena  langkah-langkahnya diawali dengan pencarian data dari lapangan dengan cara mengadakan percobaan, kemudian disusun teorinya lalu diadakan pelaksanaan.
Langkah-langkahnya sebagai berikut.
  1. Mendiagnosis kebutuhan, merumuskan tujuan, menentukan materi, menemukan penilaian, memperhatikan keluasan dan kedalaman bahan, kemudian menyusun suatu unit kurikulum.
  2. Mengadakan try out.
  3. Mengadakan revisi berdasarkan try out.
  4. Menyusun kerangka kerja teori
  5. Mengemukakan adanya kurikulum baru yang akan didesiminasikan.
Model Hubungan Interpersonal dari Rogers
Kurikulum yang dikembangkan hendaknya dapat mengembangkan individu secara fleksibel terhadap perubahan-perubahan dengan cara melatih diri berkomunikasi secara interpersonal.
Langkah-langkahnya sebagai berikut.
  1. Dibentuk kelompok untuk memperoleh hubungan interpersonal di tempat yang tidak sibuk.
  2. Kurang lebih dalam satu minggu para peserta mengadakan saling tukar pengalaman di bawah pimpinan staf pengajar.
  3. Kemudian diadakan pertemuan dengan masyarakat yang lebih luas dalam suatu sekolah, sehingga hubungan interpersonal akan menjadi lebih sempurna, yaitu hubungan antara guru dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa dalam suasana yang akrab.
  4. Selanjutnya pertemuan diadakan dengan mengikutsertakan anggota yang lebih luas lagi, yaitu para pegawai adminstrasi dan orang tua siswa. Dalam situasi yang demikian diharapkan masing-masing personakan akan saling menghayati dan lebih akrab, sehingga memudahkan berbagai pemecahan problem sekolah.
  5. Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan penyusunan kurikulum akan lebih realistis karena didasari oleh kenyataan-kenyataan yang diharapkan.
Model Action Research yang Sistematis
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum yaitu adanya hubungan antarmanusia, keadaan organisasi sekolah, situasi masyarakat, dan otoritas ilmu pengetahuan.
Langkah-langkahnya sebagai berikut.
  1. Dirasakan adanya problem proses belajar mengajar di sekolah yang perlu diteliti.
  2. Mencari sebab-sebab terjadinya problem dan sekaligus dicari pemecahannya. Kemudian menentukan keputusan apa yang perlu diambil sehubungan dengan masalah yang timbul tersebut.
  3. Melaksankan keputusan yang telah diambil.
Selanjutnya, menurut Sukmadinata (2005: 81-100), terdapat beberapa model konsep kurikulum, yaitu 1) Kurikulum Subjek Akademis, 2) Kurikulum Humanistik, 3) Kurikulum Rekonstruksi Sosial, dan 4) Kurikulum Teknologis.

Kurikulum Subjek Akademis
Kurikulum subjek akademis bersumber dari pendidikan klasik (perenialisme dan esensialisme) yang berorientasi masa lalu. Kurikulum ini dikembangkan berdasarkan pandangan bahwa fungsi pendidikan adalah memelihara dan mewariskan hasil-hasil budaya masa lalu. Kurikulum ini lebih mengutamakan isi pendidikan berupa disiplin ilmu yang telah dikembangkan secara logis, sistematis, dan solid oleh para ahli. Belajar adalah berusaha menguasai ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang berhasil dalam belajar adalah orang yang menguasai seluruh atau sebgaian besar isi pendidikan yang diberikan atau disiapkan oleh guru. Guru sebagai penyampai bahan ajar memegang peranan yang sangat penting. Mereka harus menguasai semua pengetahuan yang ada dalam kurikulum. Guru adalah yang ”digugu dan ditiru” (diikuti dan dicontoh).

Pendidikan berdasarkan kurikulum ini lebih bersifat intelektual. Namun, demikian, dalam perkembangannya sekarang kurikulum ini secara berangsur-angsur memperhatikan proses belajar yang dilakukan siswa.

Kurikulum subjek akademis mempunyai beberapa ciri berkenaan dengan tujuan, metode, organisasi isi, dan evaluasi.
  1. Tujuan kurikulum subjek adademis adalah pemberian pengetahuan yang solid serta melatih para siswa menggunakan ide-ide dan proses ”penelitian”.
  2. Metode yang paling banyak digunakan adalah metode ekspositori dan inkuiri. Ide-ide (konsep utama) disusun secara sistematis dan diberi ilustrasi secara jelas, untuk selanjutnya dikaji dan dikuasai siswa. Para siswa menemukan bahwa kemampuan berpikir dan mengamati digunakan dalam ilmu kealaman, logika digunakan dalam matematika, bentuk dan perasaan digunakan dalam seni, serta koherensi dalam sejarah.
  3. Pola organisasi isi kurikulum berupa correlated curriculum, unified (concentrated curriculum), integrated curriculum, dan problem solving curriculum.
  4. Evaluasi pelaksanaan kurikulum ini menggunakan bentuk evaluasi yang bervariasi disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata pelajaran.
Kurikulum Humanistik
Kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi (personalized education) yaitu John Dewey (Progressive Education) dan J.J. Rousseau (Romantic Education). Aliran ini bertolak dari asumsi bahwa siswa adalah yang pertama dan uatama dalam pendidikan. Mereka percaya bahwa siswa mempunyai potensi, punya kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Para pendidik humanis juga berpegang pada konsep Gestalt, bahwa individu merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada pembinaan manusia yang utuh bukan saja segi fisik dan intelektual, tetapi juga segi sosial dan afektif (emosi, sikap, perasaan, nilai-nilai, dan lain-lain).

Kurikulum humanistik memiliki karakteristik sebagai berikut.
  1. Tujuan pendidikan adalah proses perkembangan pribadi yang dinamis yang diarahkan pada pertumbuhan, integritas, dan otonomi kepribadian, sikap yang sehat terhadap diri sendiri, orang lain, dan belajar.
  2. Metode pembelajaran yang digunakan adalah metode yang menciptakan hubungan emosional yang baik antara guru dan siswa, memperlancar proses belajar, dan memberikan dorongan kepada siswa atas dasar saling percaya, tanpa ada paksaan.
  3. Kurikulum menekankan integrasi, yaitu kesatuan perilaku bukan saja yang bersifat intelektual tetapi juga emosional dan tindakan. Selain itu, kurikulum ini juga menekankan pada pemberian pengalaman yang menyeluruh, bukan terpenggal-penggal. Kurikulum ini kurang mengutamakan sekuens karena kan mengakibatkan siswa kurang mempunyai kesempatan untuk memperluas dan memeperdalam aspek-aspek perkembangannya.
  4. Evaluasi dilaksanakan lebih mengutamakan proses daripada hasil. Kegiatan belajar yang baik adalah yang memberikan pengalaman kepada siswa untuk memperluas kesadaran dirinya dan mengembangkan potensinya secara optimal. Dalam kurikulum ini tidak digunakan kriteria pencapaian. Peniaian bersifat subjektif baik dari guru maupun para siswa.
Kurikulum Rekonstruksi Sosial
Kurikulum ini lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat dan bersumber pada aliran pendidikan interaksional. Menurut mereka pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, inetraksi, atau kerja sama antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, siswa dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya, dan dengan sumber belajar lainnya.

Kurikulum rekonstruksi sosial memiliki karakteristik sebagai berikut.
  1. Tujuan utama kurikulum rekonstruksi sosial adalah menghadapkan para siswa pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan, atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Tantangan-tantangan tersebut merupakan bidang garapan studi sosial yang bersifat universal bisa didekati dari berbagai disiplin ilmu dan dapat dikaji dalam kurikulum.
  2. Dalam pengajaran rekonstruksi sosial para pengembang kurikulum berusaha mencari keselarasan antara tujuan-tujuan nasional dengann tujuan siswa. Guru-guru berusaha membantu para siswa menemukan minat dan kebutuhannya. Pembelajaran diciptakan berupa kerja sama antarsiswa, antarkelompok, dan antara siswa dengan nara sumber dari masyarakat. Dengan demikian terbentuk juga saling kebergantungan, saling pengertian, dan konsesnsus. Sejak sekolah dasar, siswa sudah diharuskan turut serta dalam survey kemasyarakatan serta kegiatan sosial lainnya. Adapun kelas-kelas tinggi dihadapkan kepada situasi nyata dan diperkenalkan dengan situasi-situasi ideal. Dengan begitu diharapkan siswa dapat menciptakan model-model kasar dari situasi yang akan datang.
  3. Pada tingkat sekolah menengah, pola organisasi kurikulum disusun seperti sebuah roda. Di tengah-tengahnya sebagai poros dipilih sesuatu masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno. Dari tema utama dijabarkan sejumlah topik yang dibahas dalam diskusi-diskusi kelompok, latihan-latihan, kunjungan, dan lain-lain. Topik-topik dengan berbagai kegiatan kelompok ini merupakan jari-jari. Semua kegiatan jari-jari tersebut dirangkum menjadi satu kesatuan sebagai bingkai atau velk.
  4. Evaluasi diarahkan bukan hanya pada apa yang telah dikuasai siswa, tetapi juga pada sejauh mana pengaruh kegiatan sekolah terhadap masyarakat. Penilaian dilaksanakan dengan melibatkan siswa terutama dalam memilih, menyusun, dan menilai bahan yang akan diujikan. Sebelum diujikan, soal-soal dinilai terlebih dahulu ketepatannya, keluasan isinya, dan keampuhannya menilai pencapaian tujuan-tujuan pembangunan masyarakat yang sifatnya kualitatif.
Kurikulum Teknologis.
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, di bidang pendidikan berkembang pula teknologi pendidikan. Aliran ini ada persamaannya dengan pendidikan klasik, yaitu menekankan isi kurikulum yang tidak diarahkan pada pemeliharaan dan pengawetan ilmu tersebut tetapi pada penguasaan kompetensi. Suatu kompetensi yang besar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih sempit/khusus dan akhirnya menjadi prilaku-prilaku yang dapat diamati atau diukur.

Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum adalah dalam dua bentuk, yaitu bentuk perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat (tool technology), sedangkan penerapan teknologi perangkat lunak disebut teknologi sistem (system technologi).

Kurikulum teknologis memiliki beberapa ciri khusus, yaitu:
  1. Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan dalam bentuk perilaku.
  2. Metode yang merupakan kegiatan pembelajaran sering dipandang sebagai proses mereaksi perangsang-perangsang yang diberikan dan apabila terjadi respon yang diharapkan maka respon tersebut diperkuat.
  3. Bahan ajar atau isi kurikulum (organisasi bahan ajar) banyak diambil dari disiplin ilmu tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga mendukung penguasaan suatu kompetensi.
  4. Kegiatan evaluasi dilakukan pada setiap saat, pada akhir suatu pelajaran, suatu unit ataupun semester.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar